Dalam sebuah siaran langsung melalui akun Instagram milik Inkubator Usaha Lestari (INKURI), yakni @usahalestari.id pada Hari Bumi 2022, seorang konservasionis hutan wanita Indonesia, Farwiza Farhan, menyampaikan pentingnya memperbanyak diskusi tentang bumi dalam sehari-hari jika ingin mencapai situasi dimana masyarakat mencintai lingkungan dengan sungguh-sungguh. Memulainya dengan diskusi tentang upaya-upaya manusia untuk dapat tetap melestarikan bumi dengan cara memberikannya waktu untuk beregenerasi memiliki urgensi tersendiri untuk didorong dari berbagai sudut. Hal inilah yang menginisiasi penciptaan kampanye Ekonomi Membumi, yang secara jelas menitikberatkan pembangunan ekonomi nasional pada tiga pilar, yakni ekonomi yang adil dan merata, melestarikan nilai budaya dan kearifan lokal, serta melestarikan lingkungan.
Walau terdengar besar dan asing, Ekonomi Membumi sebenarnya bukanlah konsep baru. Justru sebaliknya, ini merupakan sebuah ajakan untuk melihat kembali ke belakang, ke waktu manusia masih hidup berdampingan dengan alam tanpa kemewahan praktik yang instan. Atau ke saat setiap masyarakat daerah memiliki caranya masing-masing untuk menjaga keberlangsungan bumi tergantung pada kebutuhannya. Hal-hal ini menandakan bahwa sejatinya praktik lestari dan membumi tidak jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, jika tiap-tiap diri kita masih merasa asing dengan konsep ‘keberlanjutan’, ‘ekonomi regeneratif’, atau ekonomi membumi yang disebutkan, maka tiga aktivitas ini boleh jadi adalah contoh terbaik implementasinya dalam keseharian.
MENGGUNAKAN SAPU DENGAN BAHAN SERABUT KELAPA
Pergeseran praktik ekonomi dapat dilihat dari hal sesederhana menggunakan sapu dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita mengingat masa kecil saat bermain ke rumah kakek nenek di kampung halaman, mungkin terbesit betapa sapu yang ada di rumah-rumah saat itu berbeda dengan hari ini. Masyarakat dulu yang secara langsung bergantung pada hasil bumi memanfaatkan hal-hal tersebut dengan lebih bijak. Jenis sapu yang ada pun terbuat dari bahan-bahan alami seperti serabut kelapa dengan gagang yang terbuat dari bambu. Sayangnya, ketika teknologi hadir untuk menjawab kebutuhan manusia yang konsumtif dan instan, kini sapu yang berbahan sintetis dan plastik lebih mudah ditemui di sekitar kita.
Disrupsi ini bisa jadi menghadirkan kemudahan bagi manusia, tetapi tentu tahap produksi barang yang menggunakan bahan-bahan tidak dari alam menjadi sulit untuk diuraikan ketika rusak dan dibuang oleh pemiliknya. Harga murah yang dikeluarkan untuk membeli sapu dari bahan plastik memiliki harga ‘tersembunyi’ yang jauh lebih mahal karena ternyata dapat berkontribusi pada kerusakan alam. Apalagi jika digunakan dari waktu ke waktu dengan jumlah yang banyak. Padahal, jika dilihat lebih dalam, sapu berbahan natural memiliki kualitas lebih baik dan lebih bisa digunakan dalam waktu yang lama sehingga dapat membantu mengurangi konsumsi yang berlebihan.
Namun jika saat ini kamu masih menggunakan sapu dari bahan sintetis, hindari untuk langsung membuangnya. Pakailah hingga benar-benar tidak bisa dipakai lagi dan upayakan mencari cara agar sapu yang sudah rusak bisa didaur ulang oleh orang lain sebelum membeli yang baru. Selanjutnya saat harus membeli sapu yang baru, pilihlah sapu berbahan alami yang dibuat langsung oleh komunitas lokal sehingga hanya dengan membeli sapu tersebut, kamu bisa menjawab kebutuhanmu sekaligus menjaga bumi dan menghidupkan perekonomian masyarakat dalam negeri.
BELI MAKANAN DENGAN KEMASAN ALAMI DAN BAWA TEMPAT BEKAL SENDIRI
Jika tren kemasan makanan masa kini mulai ramai dengan inovasi ramah lingkungan, maka panganan tradisional Indonesia sudah jauh lebih dulu memulainya. Bahkan, banyak yang masih dipertahankan hingga sekarang. Kue tradisional seperti lemper dan nagasari yang dibungkus dengan daun pisang masih dapat dengan mudah dijumpai di lingkungan sekitar. Daun pisang sejak lama dipercaya memberikan fungsi bungkus makanan yang baik dan sampahnya pun mudah untuk diuraikan sehingga tidak merusak alam. Oleh karena itu, tanpa disadari saat kamu membeli makanan lokal yang dikemas bahan alami, sebenarnya kamu sudah melakukan aksi membumi dalam keseharianmu. Inilah bukti lain yang menunjukkan betapa kebiasaan nenek moyang terdahulu sudah mencerminkan keberlanjutan.
Namun walau begitu, tentu kebanyakan makanan yang dibungkus dengan bahan alami adalah makanan tradisional. Lalu bagaimana cara terbaik ketika makanan atau minuman yang kita ingin beli tidak terbungkus sedemikian rupa? Maka, membawa tempat bekal atau tempat minum sendiri menjadi pilihan yang tepat! Tapi alih-alih langsung berlomba-lomba membeli tempat bekal baru di situs e-commerce kesayangan kamu, manfaatkanlah dulu apa yang sudah dimiliki. Mari buka kembali rak-rak di dapur rumah untuk memanfaatkan barang-barang lama yang masih bisa didaur ulang menjadi tempat bekal terbaru. Misalnya, gunakan kembali rantang kado pernikahan orang tua kamu terdahulu atau bungkus-bungkus yang masih disimpan rapi hasil layanan pesan-antar makanan kemarin. Dengan begitu, kamu bisa melakukan penghematan secara ekonomi sekaligus berkontribusi untuk tidak mendorong produksi barang-barang tidak ramah lingkungan secara berlebihan.
MEMBAWA TAS TRADISIONAL SAAT BELANJA
Saat ini kebijakan Indonesia semakin mengupayakan keberpihakkan terhadap lingkungan. Contohnya adalah dengan tidak memperbolehkan tempat-tempat umum untuk menyediakan plastik sekali pakai. Hal ini ditujukan untuk membentuk kebiasaan masyarakat agar selalu membawa tas sendiri dari rumah sehingga sampah plastik niscaya dapat dikurangi. Tetapi tahukah kamu jika hal ini justru adalah kebiasaan orang Indonesia terdahulu?
Jika generasi sekarang lebih akrab dengan tas belanja yang terbuat dari kain dan dibuat massal di pabrik, maka sebenarnya masyarakat Indonesia sudah lebih dulu mengenal tas-tas anyaman yang lebih nyaman digunakan untuk berbelanja. Tas-tas anyaman seperti ini dibuat oleh pengrajin lokal menggunakan tangan dan alat-alat anyam/tenun khas daerah serta bahannya pun berasal dari hasil bumi tanah air. Memang, secara kuantitas mungkin produksi tas anyaman tidak bisa sebanyak buatan manufaktur. Tetapi inilah contoh praktik ekonomi membumi karena justru barang-barang yang dibuat dengan ‘pelan’ sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan waktu kepada bumi bernafas alih-alih memaksakan produksi hingga tingkat maksimal. Dan adapun manfaat yang kita dapatkan dengan menggunakan tas anyaman buah karya masyarakat lokal adalah memberikan insentif ekonomi kepada masyarakat kita sendiri sekaligus berkontribusi dalam melestarikan warisan budaya nenek moyang.
Tiga hal diatas hanya merupakan sedikit contoh langkah-langkah kecil yang dapat kita upayakan sesegera mungkin untuk menjaga kelestarian bumi sembari berkontribusi pada kemajuan ekonomi nasional. Namun, di balik makna kampanye ‘Ekonomi Membumi’, masih banyak lagi hal-hal yang bisa dilakukan yang bahkan sebenarnya sudah ada dari dulu. Kemampuan generasi muda untuk berpikir ‘sistem’ dan mendengar cerita dari orang yang lebih tua yang hidupnya tidak sekonsumtif orang sekarang menjadi penting agar kita tidak melulu bergantung pada kemudahan tanpa berpikir dampak berkepanjangannya. Dan sekali lagi, konsep ‘cinta lingkungan’ seharusnya tidak asing di telinga masyarakat Indonesia karena praktik kita sejak dulu sudah merepresentasikan hal tersebut. Hanya saja diperlukan kemauan untuk mengenalkannya kembali.
Sehubungan dengan ini, INKURI masih membuka kesempatan untuk anak-anak muda Indonesia ikut video challenge #MembumiBarengINKURI dalam rangka Hari Bumi 2022. Caranya mudah! Apabila sudah paham dengan makna ‘Ekonomi Membum’ di atas, segera buatlah video atau reels yang memperlihatkan aksi kalian cinta bumi. Videonya bisa semudah mengenalkan barang-barang paling awet yang kalian miliki atau tutorial mudah DIY daur ulang barang lama atau sampah atau bahkan melakukan salah satu dari tiga langkah dalam artikel ini. Menangkan total hadiah sebesar IDR 1.500.000 untuk 3 orang pemenang sebelum bulan April 2022 berakhir. Informasi lebih lanjut bisa didapatkan disini.
Ditulis oleh Esa Savitaresta Arnaya – Campaign Manager INKURI Bali
Hasil parafrase dan terjemahan dari artikel milik Pratisara Bumi Foundation berjudul “Ekonomi Membumi: 3 Simple Ways to Reclaim Local Wisdom in Pursuing a Sustainable (and Regenerative) Future”