Di tengah upaya memperbanyak diskursus tentang pentingnya menjaga kelestarian alam utamanya di kalangan anak muda, waktu terus bergulir memperpendek tenggat waktu yang kita miliki untuk memberikan keberlangsungan bagi lingkungan hidup ini. Dari laporan perubahaan iklim oleh PBB yang sempat ramai diperbincangkan Februari lalu, data menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca masih terus meningkat bahkan setelah aktivitas manusia banyak terhenti akibat COVID-19. Tentu ini membuat banyak orang bertanya-tanya dan sibuk berdebat tentang siapa yang patut bertanggungjawab, namun di sisi lain ada pihak yang paling terkena dampaknya, yakni masyarakat desa atau masyarakat adat.
“Di tingkat desa, mereka tahu kalau bukit gundul nanti meningkatkan resiko akan longsor pada musim hujan (serta) meningkatkan resiko akan kebakaran. Tapi kalau di kota, kita tidak memandang sampai sejauh itu.”
Ungkapan dari Christopher Bennett, seorang pemerhati dan peneliti lingkungan di Institusi Pertanian Bogor (IPB), dalam sebuah episode pada siniar Endgame with Gita Wirjawan bertajuk “Sebuah Keagungan dalam Penantian” ini menjadi relevan ketika membicarakan masyarakat desa/adat, utamanya di Indonesia. Jika menjaga lingkungan baru hanya sekedar wacana bagi warga kota urban, maka hal ini telah menjadi kewajiban sehari-hari bagi masyarakat desa/adat yang notabene hidup berdampingan dengan alam dan menggantungkan harapannya pada sumber daya alam. Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya mengatakan edukasi terbaik untuk kita semua adalah justru dengan belajar dari masyarakat desa/adat yang memiliki praktik penjagaan alam yang telah teraplikasikan.
Mulai belajar dengan jalan-jalan ke alam, kampung halaman, dan desa-desa sekitar
Ketidaktahuan memang kerap menjadi batasan manusia untuk melakukan suatu hal. Misalnya, sulit untuk kita mencari korelasi antara pengurangan penggunaan plastik sekali pakai dengan upaya penyelamatan bumi dari krisis iklim. Lalu, kesulitan tersebut menjadikan kita malas untuk tetap melakukannya karena merasa tidak ada perubahan yang berarti walaupun telah melakukannya. Disinilah kemudian visualisasi langsung dibutuhkan demi menjawab korelasi sebab-akibat tersebut.
Bagaimana mungkin kita bisa sadar akan pentingnya untuk tidak mencemari air dengan sampah dan bahan-bahan kimia jika kita nyaman berdiam diri di tempat yang memiliki akses air bersih tanpa jeda?
Bagaimana kita bisa mengkonsumsi tisu secara bijak jika tidak pernah melihat dampak langsung dari penebangan masal pohon-pohon di hutan?
Maka dari itu, menghabiskan waktu senggang di alam terbuka dan wilayah desa, boleh jadi adalah salah satu upaya untuk mendapatkan visualisasi bagaimana setiap langkah yang kita lakukan dimanapun kita berada dapat memberikan dampak kepada lingkungan dan makhluk hidup lain. Tidak hanya sekedar berjalan-jalan melihat pemandangan semata, tapi juga dengan mempelajari sumber daya alam di sekitar dan manfaat pentingnya untuk keberlangsungan hidup. Lebih banyak mendengar dari cerita dan pengalaman orang-orang yang tinggal di dekat alam, maka dapat meningkatkan empati kita untuk menjaga alam.edia film juga bisa menjadi jawaban atas kesenjangan pengetahuan kita terhadap dampak langsung kerusakan alam. Pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, INKURI sempat memberikan tiga film pilihan guna memperkaya visualisasi yang dibutuhkan untuk menyadarkan diri akan pentingnya peranan tiap manusia dalam melestarikan lingkungan hidup. Film Semesta, misalnya, berhasil membawa penonton berjalan-jalan ke 7 provinsi berbeda dengan cara pandang, tantangan, dan solusi yang berbeda pula. Seakan-akan menekankan jika masyarakat desa atau masyarakat adat memiliki cara tersendiri untuk menjaga kelestarian alamnya dan justru kitalah yang harus banyak belajar dari mereka.
Pentingnya peranan masyarakat adat udalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan
Belakangan telah disadari betapa pembangunan dunia tidak seharusnya hanya bertumpu pada kemajuan infrastruktur dan teknologi, justru yang menjadi penting adalah bagaimana pembangunan tersebut dapat berdampak baik pada lingkungan dan alam semesta. Menjawab hal itu, PBB telah lama memperkenalkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang digadang sebagai tujuan kolektif dunia sekaligus sebuah panduan agar selalu merujuk pada keberlanjutan dalam tiap upaya pembangunannya. Hal-hal seperti akses air bersih bagi tiap manusia, perlindungan hewan bawah laut dan terumbu karang, serta memastikan hutan tetap terjaga menjadi wajib diperhitungkan oleh tiap aktor yang relevan. Berbagai riset dan temuan pun dikembangkan sedemikian rupa demi menyokong upaya pelestarian bumi, tetapi bagi masyarakat adat di Indonesia, sudah banyak praktek sehari-hari warisan nenek moyang secara turun temurun yang secara fundamental memiliki tujuan untuk menjaga bumi. Oleh karena itu, mari berkenalan lebih banyak lagi dengan contoh praktik jaga bumi oleh masyarakat ada di Indonesia.
Kearifan Lokal Orang Rimba di Provinsi Jambi untuk Jaga Hutan
Bagi Orang Rimba atau Suku Anak Dalam, keberlangsungan hutan adalah esensial demi upaya bertahan hidup. Oleh karenanya, Orang Rimba banyak memiliki kearifan lokal yang secara khusus ditujukan untuk menjaga hutan. Salah satu contohnya adalah urutan panjang pembukaan ladang yang diawali dengan pemilihan lahan terbaik yang ditandai dengan tanah yang subur, dekat dengan sumber air, dan permukaan tanahnya rata. Setelah memilih lahan, Orang Rimba akan meminta izin Dukun sebelum akhirnya melakukan mancah atau penebasan dan dilanjutkan dengan nobong atau penebangan. Kemudian akan terdapat proses yang panjang untuk menunggu calon ladang kering untuk siap dilakukan pembakaran dengan sangat banyak perhitungan untuk menghindari kebakaran hutan hingga akhirnya ladang siap untuk ditanami biji-biji padi atau jagung. Sedangkan untuk sistem irigasi, Orang Rimba hanya bergantung pada air hujan. Dari sini bisa dilihat betapa proses panjang untuk bertahan hidup Orang Rimba ini memiliki dampak luar biasa terhadap peremajaan hutan yang ditinggalinya.
Selain itu, terdapat tradisi sentubung budak yang juga turut secara praktis melindungi pohon-pohon di hutan. Tradisi ini mewajibkan Orang Rimba ketika melahirkan satu anak, mereka wajib pula menanam dan melindungi satu pohon. Hal ini dikarenakan hukum adat mewajibkan ari-ari setiap anak yang dilahirkan harus ditanam di ruma tanoh perano’on yang kemudian dipagari oleh tunas pohon sentubung dan senggeris yang ujung-ujungnya akan tumbuh dan harus dilindungi oleh keluarga dari anak yang lahir. Alhasil, penebangan pohon menjadi sebuah hal yang terlarang. Dan sederhananya, semakin banyak anak yang lahir maka semakin banyak pula pohon yang tumbuh dan dilindungi sehingga hutan semakin hijau. Jika dilihat lebih luas, tradisi ini juga menjadi visualisasi nyata ketika manusia bereproduksi sekaligus memberikan kesempatan untuk alam melakukan hal yang sama yang ujung-ujungnya demi kebaikan manusia yang baru lahir di kemudian hari.
Tujuh Rukun Tani Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih di Provinsi Banten
Jika ingin belajar tentang ketahanan pangan, maka masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih bisa menjadi guru terbaik. Hal ini dikarenakan bertani adalah cara masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih bertahan hidup sehingga menjaga lahan pertanian menjadi yang utama. Disinilah Rukun Tujuh atau tujuh rukun tani memiliki peran penting sebagai hukum adat. Rukun Tujuh dimulai dengan ritual asup leuweung guna meminta restu dari Sang Pencipta sebelum akhirnya dilanjutkan dengan nibakeun yakni, meminta izin dan doa untuk memulai penanaman atau penebaran benih. Rukun selanjutnya secara ketat mengharuskan penggunaan obat tradisional yang terbuat dari padi untuk mengusir hama, atau yang dinamakan rukun ngubaran. Dari rukun ini tentu dapat dipelajari pentingnya untuk tidak menggunakan obat-obatan kimia guna mengusir hama karena hanya akan merusak lahan dan tanaman itu sendiri. Rukun selanjutnya adalah mapag pare beukah yang merupakan sebuah acara selametan untuk memohon agar tanaman tumbuh dengan baik dan kemudian dilanjutkan dengan beberes atau mipit dimana padi dapat dipanen di waktu yang tepat dan proses menyimpan atau ngadiukeun dilakukan. Rukun Tujuh diakhiri dengan ritual seren taun yang menunjukkan rasa syukur atas hasil bumi yang didapat. Perlu digarisbawahi bahwa Rukun Tujuh harus dilaksanakan bersama-sama oleh pemilik lahan guna memutuskan siklus hama untuk kebaikan bersama.
Hukum Adat Sasi di Provinsi Maluku
Masyarakat adat Maluku menjunjung tinggi sumber daya alam yang dimiliki dan sadar betul pentingnya untuk menjaganya agar tetap tersedia dalam jangka waktu yang panjang. Hal inilah yang mendorong terciptanya hukum adat Sasi yang masih kuat hingga saat ini. Hukum adat Sasi ditujukan sebagai sebuah larangan bagi masyarakat untuk mengambil potensi sumber daya alam dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan ketetapan pemerintah desa. Hukum adat Sasi berlaku di berbagai jenis tempat, yakni air yang direpresentasikan dengan laut dan sungai dan darat yang didalamnya terdapat hutan dan binatang. Kemudian terdapat pula sasi pribadi dan sasi agama untuk melengkapi. Pada Sasi Laut dan Sungai, masyarakat dilarang untuk menangkap jenis ikan tertentu yang biasanya bergerak berpindah-pindah secara berkelompok. Misalnya, ikan lompa, bialola, rumput laut, dan mutiara. Sedangkan dalam Sasi Hutan, pengambilan tanaman seperti kelapa, pala, buah-buahan, dan rotan dibatasi oleh jangka waktu yang pendek. Begitu pula melalui Sasi Binatang, masyarakat memiliki kewajiban untuk bersama-sama melindungi hewan langka. Dari Hukum Adat Sasi, manusia memberikan waktu untuk elemen-elemen di bumi bernafas dan berkembang sesuai waktu yang dibutuhkan alih-alih hanya semata-mata memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Indonesia memiliki sekitar 17 juta jiwa masyarakat adat, sehingga masih banyak lagi contoh praktik dan kearifan lokal masyarakat adat kita yang berkontribusi besar terhadap keberlanjutan bumi ini. Walau begitu hanya dengan tiga contoh diatas, bisa terlihat jelas betapa nenek moyang terdahulu telah memperhitungkan pentingnya menjaga alam bagi umat manusia. Oleh karena itu, tidak usah jauh-jauh, salah satu hal terkecil yang saat ini kita bisa lakukan adalah melihat kembali ke ajaran nenek moyang dan mempraktekannya kembali di kehidupan sekarang. Selain itu, mengakui eksistensi masyarakat adat dan pentingnya memperhitungkan peranannya dalam pencarian solusi pelestarian alam bisa jadi salah satu langkah penting bagi Indonesia untuk memimpin dunia menuju tujuan kolektif pembangunan berkelanjutan.
Ditulis oleh Esa Savitaresta Arnaya – Campaign Manager INKURI Bali
Sumber:
BRWA. Wilayah Adat Orang Rimba Makekal Hulu. Diakses dari https://brwa.or.id/wa/view/SlA4ZHZXcGVtSkU
Judge, Zulfikar dan Marissa Nuriska. (2008). Peranan Hukum Adat Sasi Laut dalam Melindungi Kelestarian Lingkungan di Desa Eti Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/18037-ID-peranan-hukum-adat-sasi-laut-dalam-melindungi-kelestarian-lingkungan-di-desa-eti.pdf
Rimba, Daniel. WALHI Jambi: Orang Rimba Bukit 12. Diakses dari https://www.walhijambi.or.id/orang-rimba-bukit-12/
RMI Bogor. Infografis Pasir Eurih. Diakses dari https://rmibogor.id/wp-content/uploads/2018/11/Infographic-Pasir-Eurih-re-1.pdf