“Usaha lestari di Indonesia punya potensi besar. Ketika kita (pemerintah, enabler, dan investor) bisa membantu mereka untuk membangun ekosistemnya, sangat mudah untuk mereka ujungnya bisa IPO.”
– Rangga Dwiyandra Putra, COO Swadaya.id saat wawancara tertutup dengan INKURI.
Sudah bukan rahasia lagi betapa UMKM telah lama menjadi tulang punggung pertumbuhan perekonomian Indonesia. Hampir 90% dari unit usaha yang ada di negara ini adalah UMKM. Di tengah tantangan krisis iklim saat ini pun, Indonesia sejatinya diberkahi dengan kemunculan usaha-usaha kecil dan menengah yang tidak lagi hanya berfokus pada cuan, tetapi juga bagaimana usahanya bisa memberikan dampak baik bagi masyarakat lokal dan lingkungan. Walau begitu, di saat yang bersamaan industri usaha lestari ini belum banyak menarik investor baik dari luar maupun dalam negeri karena berbagai faktor seperti ketidaksiapan dari sisi usaha lestarinya dan adanya celah informasi mengenai investasi yang ramah untuk usaha lestari. Oleh karena itulah, Koalisi Ekonomi Membumi bersama dengan BKPM meresmikan Panduan Investasi Lestari di tengah perhelatan B20 dan G20 bulan November kemarin. Pada artikel ini, INKURI merangkum perbincangan kami dengan Rangga Dwiyandra Putra selaku COO Swadaya.id yang juga adalah anggota Koalisi Ekonomi Membumi tentang iklim investasi Indonesia saat ini dan potensi serta upaya mendorong hilirisasi dana ke usaha-usaha lestari di berbagai provinsi di Indonesia.
Mengenal Definisi Investasi Lestari (Impact Investment)
Pada hakikatnya, investasi lestari memiliki makna yang masih sama dengan investasi pada umumnya. Tetapi, alih-alih hanya mementingkan modal kembali dalam bentuk uang, investasi lestari juga mengharapkan adanya dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan dari usaha yang dialirkan dananya secara kuantitatif. Secara singkat, investasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan pada skala masing-masing sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Di dunia internasional, investasi lestari atau yang lebih dikenal dengan impact investment telah populer. Sebagai contoh adalah perusahaan besar General Electric (GE) yang memberikan pinjaman sebesar 1 juta Dollar Amerika kepada sebuah usaha manufaktur yang memproduksi tungku bakar karya komunitas lokal di benua Afrika pada tahun 2013 silam. Dengan berinvestasi di sebuah usaha yang memiliki nilai keberlanjutan, maka dana yang dialirkan pun memberikan dampak kepada masyarakat dan lingkungan yang lebih lestari bersamaan dengan mendapatkan insentif ekonomi layaknya pada investasi pada umumnya.
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan usaha lestari yang kencang dan progresif juga memberikan optimisme untuk mengundang para investor lestari mengalirkan dana ke industri ini. Sebagaimana dilansir dari laporan milik Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) dikutip dari katadata.co.id, setidaknya ada 66 investor lestari telah melakukan 41% investasi lebih dari satu kali, 34% telah berinvestasi sebanyak satu kali dan 25% baru merencanakan investasi pada tahun 2020. Usaha lestari tersebut meliputi bidang energi, perikanan, perhutanan, agribisnis, dan penyehatan lingkungan. Walau angka menunjukkan tren yang baik, Rangga melihat masih banyak yang harus didorong untuk bisa membentuk ekosistem yang mendukung skena investasi lestari di dalam negeri. Utamanya ketika usaha lestari sendiri masih terbilang baru di Indonesia sehingga sulit bagi investor untuk ‘percaya’ menggelontorkan dananya. Apalagi di saat yang bersamaan, Indonesia pun belum memiliki parameter atau standarisasi perhitungan dampak yang dihasilkan oleh usaha-usaha lestari ini.
Sekilas tentang Panduan Investasi Lestari
Para pemangku kepentingan pembangunan ekonomi di Indonesia melihat masih ada banyak aspek krusial yang harus dicapai untuk mendorong hilirisasi investasi lestari bagi usaha-usaha lestari di Indonesia. Pertama adalah diperlukannya standarisasi yang disepakati dan dipahami secara kolektif. Standarisasi ini bertujuan untuk menjadi pedoman bagi usaha lestari untuk menjalankan bisnisnya agar seluruh dampak yang ingin dicapai dapat dikuantifikasi sehingga ujung-ujungnya investor dapat menggunakannya sebagai parameter sebelum melakukan investasi. Adapun beberapa hal yang diukur dalam standarisasi ini adalah proses bisnisnya, situasi finansialnya, kuantifikasi dampak sosial dan lingkungan, serta bahkan parameter good governance. Ketika tiap usaha lestari dapat memenuhi standar ini, maka akses terhadap investasi akan lebih terbuka. Hal inilah yang kemudian menjadi isi pokok dari Panduan Investasi Lestari yang saat ini dimiliki oleh Indonesia.
Walau begitu, harus diakui bahwa belum banyak usaha lestari dalam negeri yang memiliki data-data ini. Bahkan Swadaya.id menyatakan ada 3 industri dalam usaha lestari yang mungkin paling siap menerima pendanaan, yaitu manajemen sampah, . Padahal, tambahnya, masih banyak bidang usaha lestarinya yang berpotensi luar biasa dan memerlukan dukungan dana, seperti agroforestry. Oleh karena itulah, anggota Koalisi Ekonomi Membumi dan pemerintah bergotong royong mengupayakan iterasi panduan ini kepada usaha lestari dan para investor melalui berbagai acara dan pelatihan yang juga tersebar di daerah-daerah non-perkotaan di Indonesia. Sebagai contoh adalah Koalisi Ekonomi Membumi bersama dengan INKURI baru saja menyelesaikan workshop di Lombok bulan Desember ini dimana kami bertemu dengan beberapa wirausaha muda dan lokal untuk mendorong usaha yang telah dimiliki bertransformasi menjadi usaha yang lebih lestari. Selain untuk iterasi, kegiatan ini pun sekaligus menjadi upaya pembangunan kapasitas untuk para wirausaha lestari yang ada di Indonesia agar lebih siap untuk menerima investasi lestari di kemudian hari.
Usaha Lestari Wajib Terbuka untuk Kesempatan Investasi
Disaat usaha lestari dibutuhkan untuk menjawab permasalahan daerah masing-masing, maka ada pekerjaan besar ketika ingin mengamplifikasikan dampaknya ke skala yang lebih besar. Tidak jarang upaya ini dibenturkan oleh situasi finansial. Disinilah dengan nilai gotong royong, investor lestari memiliki peranannya. Investor dalam hal ini pun harus dilihat sebagai aktor yang penting untuk mengupayakan pembangunan berkelanjutan. Rangga menjelaskan bahwa memang pada hakikatnya investor akan bergerak secara pragmatis dengan memberatkan pada faktor ekonomis, namun hal ini bisa dilihat sebagai tantangan positif untuk usaha lestari dalam mengelola bisnisnya agar juga menghasilkan insentif ekonomi bersamaan dengan dampak sosial dan lingkungannya. Apalagi, terdapat banyak opsi investasi yang bisa dipilih sesuai dengan karakter usaha lestari masing-masing. Misalnya adalah dengan melalui sistem pinjaman ataupun dengan sistem penyertaan modal. Opsi ini tentunya bisa dicapai dengan proses negosiasi agar menghasilkan solusi yang bonafide bagi dua belah pihak.
Ketika usaha lestari, pemilik modal, pemerintah, dan enabler berhasil bersinergi, maka hampir tidak mungkin bagi usaha lestari untuk mencapai tingkat IPO sehingga bahkan seluruh elemen masyarakat bisa bergotong royong mengamplifikasikan dampak triple bottom line yang ingin dicapai. Dan ketika ada usaha-usaha lestari karya anak bangsa yang mampu mencapai tingkat tersebut, maka hal ini dapat memicu aliran investasi awam ke usaha lestari lainnya sehingga pada waktu yang berkepanjangan dapat membentuk suatu ekosistem yang ramah untuk pertumbuhan usaha-usaha lestari di dalam negeri dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Referensi:
“15 Companies Making a Difference With Impact Investing” 2016. https://bthechange.com/15-companies-making-a-difference-with-impact-investing-9f3752774cc7 “Menumbuhkan Usaha Berdampak Sosial dan Lingkungan di Indonesia: Berdasarkan Hasil Laporan yang Disusun oleh ANGIN” https://katadata.co.id/investasi-berdampak
Penulis: Esa Savitaresta Arnaya | Campaign Manager INKURI