Mindset, kata yang kerap disebut dalam cerita-cerita kewirausahaan. Cerita pemilik usaha yang karyawannya memiliki fixed mindset. Cerita tentang kenapa seorang pengusaha harus memiliki mindset kewirausahaan. Cerita tentang mindset apa yang seorang pemimpin harus miliki.
Namun, kali ini, kita tidak akan membahas apa saja yang dapat kamu pelajari untuk memiliki mindset ini.
Dilansir dari Forbes dalam artikel berjudul Why The Characteristics of The Entrepreneurial Matter, keterlibatan setiap anggota tim mempengaruhi budaya suatu perusahaan. Budaya perusahaan yang inklusif ini kemudian mendorong penciptaan ide yang kreatif di perusahaan.
Inilah hal yang akan kita bahas. Untuk melihat bagaimana peran mindset dalam kerja sama tim, saya berbincang dengan tim Travelearn Indonesia yang ikut serta dalam Inkubasi Usaha Lestari (INKURI).
Sedikit Banyak Tentang Mereka
Mari berkenalan dengan Ni Made Ayu Natih Widhiarini, Ni Kadek Wira Adnyani, dan I Kadek Arya Darma Saputra. Ketiganya memiliki latar belakang yang berbeda, namun memiliki perhatian yang sama, yaitu lingkungan. Mereka sama-sama bertemu di Institut Pariwisata Bali Internasional dan mengembangkan wisata edukasi yang pro lokal.
Ide ini berawal dari Natih yang melihat agen wisata edukasi yang ada menawarkan destinasi secara general dan terlalu luas. Padahal, masih banyak desa wisata di pulau Bali yang belum mendapatkan banyak perhatian dari wisatawan.
Ia pun membentuk tim, termasuk dengan Wira dan Arya dalam Travelearn Indonesia. Lalu, membuat domain dan website sebagai langkah awal usahanya. Dalam websitenya, telah terpampang satu tur bertajuk Balinese Mud Wrestling di Sukawati sebagai penawaran mereka.
Sekadar informasi, Balinese Mud Wrestling atau yang lumrah disebut Mepantigan dalam bahasa Bali ini adalah kombinasi teknik bela diri yang dilakukan di atas lumpur. Kesenian ini diperkenalkan oleh Putu Widsen Widjaya pada tahun 2003 sebagai aktivitas pereda stres.
Namun, ada hal yang menjadi kendala bagi mereka. Bagaimana mereka menggali lagi ide ini? Bagaimana mereka menemukan jalan untuk membuat usaha ini berhasil?
Dari sinilah mereka mengukir perjalanan mereka di INKURI, untuk belajar tentang usaha lestari secara bertahap. Saat pertama kali bertemu mereka, hal yang paling membuat mereka menarik adalah saling mendukung saat teman yang lain tidak responsif. Tentunya saya juga menyinggung ini dalam perbincangan kami.
“Kami selalu saling monitor saat mengerjakan tugas,” balas Natih. Ternyata, mereka sudah memeriksa tugas satu sama lain agar bisa memberi dukungan saat yang lain sedang sibuk.
Untuk menjaga kekompakan tim, Wira berbagi satu tips, yaitu tetap menjadi cangkir kosong. Menerima pendapat semua orang dan menggabungkannya menjadi kesimpulan merupakan kebiasaan yang Ia bawa sejak menjadi anggota himpunan di bangku kuliah.
Mindset Tim Setelah Mengikuti Pelatihan Sejauh Ini
Natih dan Wira sepakat bahwa mindset yang mereka dapatkan adalah keinginan untuk berprogres, mengerjakan semuanya secara bertahap. Meskipun mereka rasa sudah bisa untuk lompat ke tahap yang jauh, namun mereka belajar untuk melakukannya perlahan bersama. Mereka sadar bahwa akan ada banyak hal kecil yang terlewat jika mengerjakan tahapan yang ada dengan terburu-buru.
Bagi Wira, belajar sesuatu hal perlu selangkah demi selangkah. Saat kurikulum di perguruan tinggi mendorong peserta didiknya untuk mandiri, ada yang membutuhkan bimbingan lebih dalam sepertinya.
Menurut Natih sendiri, hal lainnya yang Ia dapatkan dalam memantapkan mindset adalah mendengarkan untuk berempati. Belajar mendengarkan dan memahami lawan bicara, lalu merespons saat lawan bicara selesai mengutarakan isi hatinya juga merupakan pelajaran baru yang penting bagi mereka.
“Selama ini saya selalu cepat merespons untuk menunjukkan antusiasme saya. Saya tidak tahu kalau itu salah”, jelas Natih sambil mengenang pengalaman offline workshop pertama mereka.
Kini, tim Travelearn Indonesia memantapkan tujuan mereka untuk bermanfaat bagi masyarakat lokal, baik untuk lingkungan dan perekonomian mereka. Mereka berharap, usaha ini bisa berdampak bagi masyarakat lokal dengan potensi di desa mereka untuk bisa berkembang tanpa investor asing.
Mereka ingin jadi jembatan untuk para turis yang bertanggung jawab dengan desa yang berpotensi di Bali. Dengan adanya usaha ini, para turis juga bisa mendapatkan pengalaman unik. Bukan sekadar atraksi, tapi keterlibatan dalam aktivitas masyarakat lokal dan nilai filosofis masyarakat Bali.