Memberikan Rumah untuk Diskusi Membumi di Tengah KTT G20

Melawan terik pada suatu siang di tengah spektakularitas perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, Koalisi Ekonomi Membumi berkolaborasi dengan SMESCO, Yayasan Bambu Lestari, dan Spedagi menawarkan “rumah” untuk organisasi tingkat tapak, usaha lestari, dan komunitas masyarakat Indonesia untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang telah dimiliki Indonesia dalam diskursus keberlanjutan hidup. Rumah tersebut, yang juga diberi nama Hutan Bambu Nusantara, merupakan hasil gotong royong teman-teman Yayasan Bambu Lestari dan Spedagi Movement yang turut memberikan aksen nusantara dengan dekorasi bambu dan dikelilingi oleh usaha-usaha lestari yang otentik milik daerah-daerah timur Indonesia. Disampaikan bahwa Hutan Bambu Nusantara terinspirasi dari Pasar Papringan di Dusun Ngadiprono yang juga merupakan inisiasi dari Spedagi Movement bersama dengan komunitas lokal setempat. Keduanya pun memiliki misi yang serupa, yakni untuk memperkenalkan bambu sebagai potensi SDA Indonesia dan mengamplifikasi pengaplikasian gotong royong antarpihak guna menjawab krisis yang tengah dihadapi.

“Gotong royong menjadi nilai yang selalu bisa ditemukan sehari-hari dan bisa diaplikasikan dalam wujud-wujud baru. Dan dengan ini kami ingin mengingatkan kalau hanya dengan gotong royong, keberlanjutan kehidupan dapat dicapai. “

– Singgih Susilo Kartono, founder Spedagi Movement

Dialog Senja bersama para pustaka di bidang usaha lestari, pada Sabtu, 12 November 2022

Berbasis pada semangat gotong royong ini pula, dialog antarpihak diinisiasi dengan mengundang audiens yang berada di area Future SMEs Village untuk menjadi kawan seperjalanan demi menuju hidup yang lebih baik. Dialog ini pun mengundang sumber pustaka berjalan untuk membagikan cerita sukses dan pengalaman di bidang masing-masing. Dalam kesempatan ini, Pratisara Bumi Foundation (PBF) berdialog dengan para pengusaha lestari dan penggerak komunitas desa yang kemudian menjadikan dialog ini begitu selaras dengan kampanye Ekonomi Membumi.

Annisa Fauziah berbagi pengalamannya dalam membangun usaha lestari

Mencari Keseimbangan Antara Kelestarian Alam dan Kesejahteraan Manusia

Dialog menuju hidup lebih baik sejatinya memang memiliki urgensi tersendiri mengingat dunia saat ini didesak oleh berbagai jenis krisis, utamanya krisis iklim. Ketika berdialog dengan Annisa Fauziah selaku Managing Director dari Tri Cycle dan Chitra Subyakto sebagai pendiri Sejauh Mata Memandang, dua pengusaha lestari ini secara kolektif menyampaikan betapa hal sekecil produk-produk yang kita gunakan tiap hari dapat memberikan dampak pada lingkungan dan manusia lain. Industri mode dalam hal ini memang telah menyumbang sampah luar biasa besar sehingga diperlukan adanya kemawasan diri bagi tiap-tiap konsumen tidak hanya dalam memilih barang yang memiliki label sustainable atau ramah lingkungan, tetapi juga tentang bagaimana seseorang mengonsumsi suatu barang.

“Mungkin kita tidak bisa bilang industri fashion benar-benar sustainable, tapi dengan kita sadar saat punya usaha itu menggunakan bahan-bahan yang mudah diuraikan dan melalui proses yang tidak asal-asalan kemudian konsumen bisa menggunakan barangnya dalam waktu yang lama, disitulah kita bisa menerapkan keberlanjutan.”

– Chitra Subyakto, Founder dan Creative Director Sejauh Mata Memandang

Disinilah peran usaha lestari menjadi penting. Kemampuan usaha-usaha ini untuk menyediakan produk yang minim dampak buruk terhadap lingkungan serta memastikan rantai nilai kebermanfaatannya adalah pendorong bagi konsumen bijak. Mengamini hal tersebut, pendiri Spedagi Movement sekaligus salah satu inisiator Hutan Bambu Nusantara, Singgih Kartono, pun menekankan bahwa terdapat dua hal yang patut menjadi pedoman untuk kehidupan sekarang dan keduanya, yaitu kelestarian alam dan kesejahteraan manusia. Menurutnya, usaha lestari memiliki dua elemen ini. Dan dengan bantuan perkembangan pengetahuan dan teknologi saat ini, usaha lestari seharusnya mampu mencapai titik keseimbangan diantara kedua hal tersebut.

Chitra Subyakto berbagi pengalamnya di dunia fesyen dan alasan di balik lahirnya Sejauh Mata Memandang

Pembangunan Hijau dan Restorasi Ekonomi dengan Kearifan Lokal dan Kekuatan Desa

Dalam dialog bersama pengusaha dan figur lestari di Hutan Bambu Nusantara tersebut juga, kawan seperjalanan diingatkan jika pengetahuan dan teknologi tidak selalu menyoalkan suatu inovasi yang rumit. Justru yang tidak banyak orang ingat adalah kearifan lokal Indonesia sendiri yang telah menawarkan banyak praktik-praktik keberlanjutan yang bisa dengan mudah diaplikasikan pada keadaan saat ini. Sejauh Mata Memandang, misalnya, mengembalikan kebiasaan nenek moyang dalam berpakaian sehari-hari. Selain kembali mempromosikan baju-baju tradisional dengan aksen modern, Chitra Subyakto juga menekankan pada proses pembuatan yang cenderung slow seperti pada jaman dahulu alih-alih produksi manufaktur skala besar dalam waktu yang singkat. Salah satu contoh inovasi produk oleh usaha lestari lainnya adalah Pala Pala, dimana Dennis Yonasa mengolah komoditi khas Indonesia Timur ini menjadi wine lokal yang dibuat di dalam negeri dengan teknologi lokal dan bisa dinikmati oleh masyarakat dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi produk dapat berjalan seimbang dengan kesejahteraan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Spedagi pun tak kalah inovatif. Bersamaan dengan diselenggarakannya dialog ini, Spedagi mengeluarkan sepeda bambu wujud gotong-royong kreatif dari desa-kota, pusat-daerah melibatkan mama-mama bambu di Nusa Tenggara Timur, artisan, aktivis lingkungan, dan gerakan sosial, industri sepeda nasional serta usaha kecil dan menengah yang diprakarsai oleh Spedagi Movement bersama dengan Yayasan Bambu Lestari. Sepeda bambu merupakan solusi konkret untuk misi besar G20 dan dunia, yakni mengurangi emisi karbon dan memperbanyak mobilitas hijau. Sedangkan, bambu sendiri adalah salah satu sumber daya alam Indonesia yang pertumbuhannya dan penggunaannya ramah dan bahkan berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan. Tidak hanya itu, bambu yang diolah di desa juga disampaikan dapat memberikan ketahanan pangan dan ekonomi serta memberdayakan masyarakat desa.

Berbincang bersama Singgih Susilo Kartono tentang keraifan lokal dan munculnya Spedagi

Dalam dialog tersebut, banyak juga disebutkan betapa masyarakat desa adalah kunci pembangunan perekonomian Indonesia saat ini. Pak Singgih menyatakan salah satu kualitas hidup baik yang dicari saat ini ada pada komunitas-komunitas kecil yang bagi orang Indonesia, kita sebut komunitas tersebut sebagai desa. Dari orang-orang di desa kita pun bisa belajar untuk dapat memenuhi kebutuhan dengan cara paling sirkuler karena dalam kelompok kecil kita bisa melihat proses secara keseluruhan. Namun, tugas terbesar saat ini justru menyadari potensi ini untuk kemudian merevitalisasinya. Dalam hal ini, PBF juga sempat mengobrol dengan Bapak Teten Masduki selaku Menteri Koperasi dan UKM Indonesia di sela-sela istirahat beliau dalam kegiatan KTT G20. Pak Teten menyampaikan bahwa revitalisasi desa dengan fokus pendorongan kegiatan produksi ekonomi di desa kini menjadi program kerja di level Kementerian. Walau begitu, beliau menyatakan dibutuhkan gotong royong dari berbagai pihak, salah satunya dari organisasi non-profit yang bergerak di tingkat tapak untuk dapat mendorong pembentukan karakter pada masyarakat desa. Kemudian, Pak Teten pun senantiasa memberikan dukungan pada PBF dan Koalisi Ekonomi Membumi yang telah bergerak secara sinergis untuk memperkuat usaha-usaha lestari di daerah-daerah terpencil demi membangun perekonomian Indonesia yang maju dan berkelanjutan.

Share this post