Kultur regeneratif menjadi tema penting bagi acara Makerverse dalam rangkaian Bali Fab Fest 2022 pada 20-21 Oktober 2022 yang lalu. Mengumpulkan berbagai organisasi dan usaha-usaha yang bergerak di bidang keberlanjutan, CAST Foundation bersama Fab Foundation, Fab City Global, dan Meaningful Design Group berinisiatif untuk menjadikan acara ini sebagai ajang refleksi bersama atas upaya yang telah, sedang, dan akan dilakukan demi merespon ancaman krisis iklim yang kian nyata. Terdapat setidaknya 28 booth yang menjadi tempat berbagi dan belajar bersama bagi ratusan pengunjung yang datang dari praktisi keberlanjutan internasional dan pelajar SMA hingga mahasiswa asal daerah tuan rumah, yakni Bali. Tentunya Bali dipilih bukan tanpa alasan. Sebagaimana yang telah diketahui Bali telah lama dikenal menjadi jendela Indonesia untuk dunia internasional bukan hanya karena keramahannya dalam dunia pariwisata, tetapi juga dalam hal keterbukaan akan informasi, pengetahuan, dan teknologi. Oleh karena itu, penting untuk menjadikan Bali sebagai inisiator diskursus ini.
Lebih daripada itu, pada hakikatnya, Bali juga dapat dilihat sebagai sebuah inspirasi akan praktik kultur regeneratif. Jika acara Makerverse memaknai kultur regeneratif sebagai sebuah konsep kebudayaan yang bertumpu pada aksi merawat, mengasuh, menumbuhkan, menjaga, memulihkan, serta mengembalikan/memberi kembali dalam segenap relasi sosial dan ekologi, maka hal-hal ini sebenarnya sudah lama terpancar pada kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Misalnya, kita bisa belajar dari upacara adat Nyepi Segara yang dilakukan warga Desa Kusamba di Kabupaten Klungkung guna merehatkan laut yang menjadi mata pencaharian utama mereka. Pada artikel Mongabay bertajuk Tradisi Merehatkan Laut dengan Nyepi Segara di Desa Kusamba, tradisi ini dilakukan secara turun temurun oleh warga desa yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan dan petani garam. Selain untuk menjadi pengingat betapa berharganya laut, kearifan lokal ini juga menjadi pendorong terciptanya model manajemen perikanan dengan cara tangkap secara tradisional. Begitupun dengan sistem perairan subak yang merupakan inovasi teknologi warisan nenek moyang. Dan tentunya masih banyak lagi contoh kearifan lokal dan praktik masyarakat adat yang dapat menjadi inspirasi dalam berinovasi guna menjawab ancaman krisis masa kini.
“Betul bahwa metode yang kita gunakan sebenarnya telah ada dari dulu. Teknologi hanya menjadi amplifikasinya.”
Puja Pramudya, Program Management Efishery
Didorong oleh pilar-pilar dalam Ekonomi Membumi yang mempercayai bahwa hanya dengan kembali dan berpegang pada akarnyalah Indonesia dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan, Pratisara Bumi Foundation melihat pentingnya perspektif ini untuk dibawa ke dalam diskursus mengenai inovasi teknologi dan kultur regeneratif. Pada kesempatan untuk menjadi salah satu panelis dalam diskusi panel dengan judul Nurture Nature for Future, kami mengajak para audiens untuk mengingat kembali kearifan lokal dan praktik masyarakat adat seperti apa yang masih sangat relevan untuk permasalahan masa kini. Seakan mengamini ide ini, salah satu panelis, yakni Pak Kadek Suardika selaku pendiri sebuah usaha lestari yang bergerak di bidang pertanian bernama Bali Coop menyampaikan tentang pentingnya mencontoh praktik pertanian organik dari nenek moyang terdahulu demi meningkatkan kualitas pangan dalam negeri sekaligus mengembalikan kesehatan tanah bumi ini yang sudah lama sakit karena penggunaan bahan-bahan kimia. Disini, dapat dilihat bahwa harapan untuk menjaga keberlanjutan bumi ini adalah justru dengan mempelajari kembali cara-cara lama warisan nenek moyang[1] .
Dalam hal menjaga kelestarian kearifan lokal dan alam, rasanya sulit untuk tidak mengikutkan masyarakat adat sebagai aktor pentingnya. Sebagaimana dilansir dari salah satu konten akun Instagram milik Earth Rise Studio, masyarakat adat secara alami memiliki ikatan yang dalam dengan alam semesta ini. Mereka adalah kelompok pertama yang terkena dampak buruk dari krisis iklim karena ketergantungan yang kuat terhadap ekosistem itu sendiri. Oleh karena ikatan tersebut, masyarakat adat memiliki kecerdasan alamiah untuk kemudian diterjemahkan menjadi praktik-praktik regeneratif. Sebagai contoh, Pratisara Bumi Foundation memperkenalkan salah satu usaha lestari hasil binaan program Inkubator Usaha Lestari (INKURI) yang mengembangkan usaha produk fashion dari produksi serat sisal gebang dari para ibu-ibu di Desa Dukuh, Karangasem. Selain gebang atau bagu sendiri merupakan sebuah tumbuhan yang dapat tumbuh secara alami tanpa harus disokong dengan lahan khusus dan pengobatan kimia tertentu, manfaat yang didapat dari tumbuhan ini pun bersifat ekonomis dan ekologis. Ekonomis karena dapat diolah menjadi sebuah kerajinan melalui inovasi teknologi oleh masyarakat desanya sendiri. Bahkan, sisa dari serat ini pun masih bisa diolah menjadi alat-alat keperluan rumah tangga sehingga inovasi ini menjadi minim sampah. Fenomena ini tentu menjadi contoh terbaik dari sebuah inovasi teknologi dari masyarakat adat yang tentunya bisa menjadi inspirasi sekaligus pembelajaran ketika kita berbicara tentang teknologi hijau dan kultur regeneratif.
Kesimpulan
Di tengah gempuran inovasi teknologi yang banyak terinspirasi dari kencangnya arus globalisasi, Pratisara Bumi Foundation justru melihat potensi Indonesia memimpin diskursus ini dengan kembali ke akar dan menguatkannya. Salah satunya adalah dengan melihat kearifan lokal dan praktik seperti apa yang telah lama diterapkan oleh masyarakat kita sendiri yang sebenarnya merupakan bukti dari kultur regeneratif. Dalam hal ini, masyarakat adat dapat memberikan pembelajaran terbaik karena telah terbukti secara konsisten melakukan praktik-praktik ramah alam untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini menjadikan masyarakat adat mandiri serta kreatif dalam menemukan inovasi teknologi yang bertanggungjawab bagi keberlangsungan hidup keseharian mereka dan kelestarian alam. Jadi, masyarakat adat inilah yang sebenarnya adalah inovator tulen, hanya saja kita melupakannya karena berbagai macam alasan. Ide inilah yang dibawa Pratisara Bumi Foundation ke acara Makerverse dalam rangkaian acara Bali Fab Fest 2022 yang berfokus pada diskusi untuk mengamplifikasi kultur regeneratif dan upaya untuk merefleksikannya dalam wujud inovasi teknologi. Selain menginisiasi diskursus tentang inovasi masyarakat adat sebagai inspirasi teknologi masa kini, kami juga berkesempatan untuk memperkenalkan usaha lestari binaan kami hasil inisiatif dari masyarakat lokalnya sendiri, yakni pemimpin perempuan dan anak muda, yang senantiasa mengupayakan solusi untuk masalah mendasar di desanya sendiri dengan mengeksplorasi potensi sumber daya alam dan manusia di daerah tersebut.
Penulis:
Esa Savitaresta (Campaign Manager INKURI)
Referensi:
Norberg-Hodge, Helena. (2020). What Indigenous Wisdom Can Teach Us About Economics.