Ketika berbicara tentang ekonomi yang membumi, tentu konsumen tidak menjadi aktor satu-satunya yang dapat mengimplementasikannya dalam keseharian. Produsen pun juga memiliki peranan penting sebagai pelaku ekonomi dengan kemampuan dan kemauan untuk menyediakan produk yang lestari dari hulu ke hilir. Kali ini, tim INKURI berkesempatan untuk berbincang dengan salah satu pengusaha lestari atau #Greenspirator asal Provinsi Bali yakni Ayu Linggih. Beliau merupakan pendiri dari usaha lestari di bidang pangan, yakni keju, bernama Rosalie Cheese. Didirikan pada tahun 2017, Rosalie Cheese memiliki misi luar biasa untuk mengembangkan keju natural yang berasal dari sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dengan tanpa bahan pengawet atau pewarna. Jika ketika mendengar keju saat ini yang langsung terpikir adalah negara-negara di Eropa, maka Rosalie Cheese melihat kesempatan yang besar untuk mengembangkan keju dengan kearifan lokal agar Indonesia pun dikenal sebagai produsen keju yang berkualitas. Berikut adalah rangkuman hasil obrolan kami dengan Ayu Linggih dalam rangka mengupas implementasi #ekonomimembumi pada Rosalie Cheese.
Misi besar untuk ‘melokalkan’ keju
Berawal dari kegemaran pribadi akan mengonsumsi keju dan latar belakang studi teknik pangan, Ayu Linggih membangun rasa penasaran untuk mengembangkan keju di Indonesia. Ayu percaya bahwa orang Indonesia pun banyak yang mengonsumsi keju. Berangkat dari asumsi itulah, riset dan pengembangan produk dimulai dimana Ayu memulai mengetuk pintu calon-calon pembeli di sekitarnya serta datang langsung ke lapangan untuk mencari peternak kambing terdekat yang bisa dijadikan mitra bisnis sekaligus penerima manfaat.
Bukan perjalanan yang mudah untuk Ayu dalam mencari mitra bisnis terpentingnya, yakni peternak. Ia bahkan harus langsung datang ke berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya harapan untuk mendapatkan sumber di Bali pupus karena semakin berkurangnya jumlah peternak di Bali. Saat ini, ia hanya bekerja sama dengan satu peternak di daerah Negara. Sementara mitra peternak lainnya berada di Jawa Timur. Walau begitu, Ayu tidak mempermasalahkan keadaan ini karena baginya, sumbernya toh masih dari dalam negeri.
Walau tidak dekat dengan sumber, Ayu justru melihat potensi Bali sebagai pasar yang besar untuk Rosalie Cheese. Kendati begitu, Ayu tahu betul bahwa memasarkan keju ke pasar langsung saat itu tidak semudah sekarang. Hal inilah yang akhirnya mendorong fokus pasar Rosalie Cheese ke hotel dan restoran. Keju yang merupakan salah satu komoditi primer bagi kebanyakan hotel dan restoran di Bali saat itu sangat bergantung pada produk impor yang kesediaannya tidak stabil. Dengan mengetahui permintaan pasar yang besar untuk menyediakan keju dalam negeri, Rosalie Cheese pun akhirnya berkembang pesat dengan fokus produk keju sebagai bahan baku.
Kalau lebih menguntungkan untuk beli dari usaha lokal, mengapa harus impor?
Tidak hanya itu, produk keju yang dimiliki Rosalie Cheese pun berbeda dengan keju lainnya yang membuatnya sulit untuk dibandingkan dengan kompetitor lainnya. Hal ini pula yang akhirnya membangun adanya kesetiaan pelanggan sehingga usaha Rosalie Cheese dapat berkelanjutan secara ekonomi.
Salah satu nilai unik yang dimiliki adalah racikan keju spesial dengan campuran bahan-bahan lokal. Misalnya, Lucie in Bali yang merupakan keju bergaya camembert yang dipadukan dengan daun kelor kering (dried moringa) dan dibungkus dalam sebuah besek khas Bali. Selain dari bahan-bahan lokal, Rosalie Cheese juga menawarkan pengalaman kuliner keju dengan kearifan lokal seperti cheese pairing dengan cokelat asal Sumatera atau dengan teh asal Surabaya. Selain bertujuan untuk mengangkat bahan-bahan lokal lainnya, hal ini juga menambahkan nilai unik Rosalie Cheese karena sulit untuk mendapatkan produk keju dengan rasa dan pengalaman yang sama.
“Keju itu sebenarnya seperti kopi dan teh. Di belahan dunia manapun, makanan-makanan ini akan memiliki rasa yang berbeda dan orang akan terus mencari perbedaan rasa-rasa tersebut.”
Cara-cara mencapai #ekonomimembumi
Tidak ada keraguan untuk menyebut Rosalie Cheese sebagai salah satu usaha yang sukses menerapkan prinsip ekonomi membumi. Pertama, Ayu Linggih memastikan masyarakat lokal menerima manfaat terbesar dari usaha ini. Dalam hal ini tentu peternak kambing adalah mitra bisnis utamanya. Ayu bercerita bahwa hampir seluruh peternak kambing yang ditemui belum menemukan diversifikasi bisnis selain memproduksi susu kambing untuk obat-obatan, sehingga kemitraan ini memberikan insentif ekonomi tersendiri bagi penerima manfaatnya. Namun Ayu melihat kerjasama dengan peternak bukan hanya soal pertukaran uang dan barang, melainkan penjagaan hubungan baik dalam rentang waktu yang lama. Oleh karena itu, Ayu pun tidak ragu untuk berbagi ilmu demi keuntungan peternak itu sendiri. Tak hanya peternak kambing, bahan-bahan natural lainnya pun juga didapat dari mitra bisnis lokal seperti misalnya garam, lada, dan daun kelor dari usaha-usaha lokal di Bali. Dengan begini, Rosalie Cheese tidak hanya mengangkat kearifan lokal Indonesia, tetapi juga memberikan kekuatan pada pelaku usaha lokalnya.
Tentu membumi tidak hanya soal seberapa lokal, bagaimana upaya sebuah usaha dalam mengurangi dampak negatif kepada lingkungan pun menjadi sangat krusial. Dalam hal ini, Ayu menyampaikan kesulitan dalam menemukan kemasan ramah lingkungan yang tidak berbahan plastik mengingat kebutuhan keju untuk dibungkus dengan plastik vakum agar tahan lebih lama. Walau begitu, Ayu menyediakan opsi pengemasan tanpa plastik atas permintaan konsumen. Selain itu, Ayu juga berusaha untuk memilih pengemasan yang bisa dipakai kembali, seperti besek Bali dan memberikan edukasi ke konsumen akan pentingnya reuse kemasan-kemasan tersebut. Tak hanya di pengemasan, Ayu juga melakukan manajemen limbah dengan bantuan pihak ketiga dimana dapat dipastikan limbah yang dihasilkan tidak mengotori lingkungan di sekitar daerah produksi. Bahkan pihak ketiga tersebut membantu memproses air bekas cucian peralatan yang digunakan sekali pun.
Kemasan produk Rosalie Cheese menggunakan besek Bali
Perlunya ekosistem yang mendukung perkembangan usaha sektor non-pariwisata di Bali
Setelah mengupas tuntas tentang Rosalie Cheese sebagai sebuah usaha lestari, INKURI juga banyak berbincang mengenai perkembangan usaha lestari dan anak muda di Bali. Menurutnya, semakin hari orang Bali semakin tidak melirik industri agrikultur dan memilih untuk berbondong-bondong bekerja di sektor pariwisata. Disinilah Ayu melihat pentingnya peranan para pemangku kepentingan. Pertama adalah pemilik modal yang diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan dengan diversifikasi usaha yang berbeda. Jika berkaca pada Rosalie Cheese, kini ia telah mempekerjakan 10 anak muda dengan keahlian yang bervariasi dari produksi, customer service, hingga manajemen keuangan. Ayu bahkan tidak ragu untuk memberikan kesempatan pada karyawannya untuk belajar hal baru yang bisa menjadi added skill mereka di masa depan.
Bersamaan dengan itu, Ayu juga berharap ekosistem di Bali juga dapat aktif mendukung usaha lestari di sektor non-pariwisata. Hal ini karena pada kenyataannya, industri non-pariwisata seperti pangan masih sangat jarang di Bali walau pasar dan sumber dayanya sangat mumpuni. Padahal, Ayu mengetahui banyak anak muda Bali yang berlatar belakang teknik pangan seperti dirinya, hanya saja hampir tidak ada yang membangun usaha di sektor pangan. Disini Ayu melihat pentingnya pemerintah lokal juga aktif mendukung usaha non-pariwisata dengan program, pelatihan, serta bantuan agar dapat juga menyeimbangkan sektor pariwisata yang sudah banyak menyokong perekonomian Bali. Mungkin dengan semakin dapat sorotan, maka semakin banyak peminat juga sektor tersebut. Dengan begini, Bali dapat menyeimbangkan sumber ekonomi sekaligus memperlebar kesempatan untuk anak mudanya agar terdapat diversifikasi karir. Dan dengan itulah, perekonomian Bali dapat tumbuh dengan resilien dan berkelanjutan.
“Sekarang jauh lebih mudah kalau mau bikin usaha karena ada banyak pendukung, seperti program dan lain-lain. Jadi pergunakanlah itu.”
Sampai saat ini mungkin belum banyak yang percaya bahwa sebuah usaha dapat mendayung dua sampan sekaligus dalam perjalanannya, yakni aspek ekonomi dan lingkungan. Dalam cerita ini, bahkan Rosalie Cheese mampu memperhatikan tiga aspek sesuai dengan pilar #EkonomiMembumi dimana Rosalie Cheese mampu membuktikan bahwa sangat mungkin untuk sebuah usaha mendapatkan insentif ekonomi sambil mengangkat kearifan lokal Indonesia, memberikan kekuatan kepada masyarakat lokal, dan sekaligus berkontribusi pada pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan.